Wednesday, August 8, 2001

PENGEMBARAAN KAUM SUFI DALAM DUNIA GNOSIS (MA’RIFAH)

10 Ogos, Kota kinabalu - KOL baru baru ini menerima satu emel beserta attachment yang dikirim oleh Kiyai Hj Lisman Sumarjani, membincangkan mengenai beberapa asas mengenai falsafah kesufian. Tulisan ini dituliskan oleh Guru Besar Perguruan Mukaramah, Indonesia. KOL tidaklah berani mengulas lanjut dengan perkara kerohanian begini, sekadar memaparkan semula tulisan yang dikirimkan  untuk renungan kita bersama.

“ Keyakinan yang hakiki (haqqul-yaqin), mengenai ajaran tasawuf akan menjadi lebih sempurna jika sang hamba mempunyai tingkatan kesucian yang lebih tinggi pula di dalam pengabdiannya kepada Allah “.

Adab “Al-Azm“ (tata krama spiritual dalam tekad yang kuat) adalah  suatu tekad manusia yang berjalan dari lingkaan luar menuju pusat yang mempersatukan pusat manusia dan pusat alam semesta dan akhirnya mencapai Al-Dzat.

Adab ini juga mewujudkan jiwa di dalam tubuh, dan menjadikan tubuh sebagai rumah bagi jiwa yang merupakan unsur positif dalam alkimia spiritual, atau sebagai spiritualisasi tubuh dan pemenuhan kebutuhan jiwa yang bertekad kuat menuju penyingkapan spiritual di dalam keagungan Yang Maha Benar.

Dengan menghidupkan kembali cahaya semangat jiwa dan menyesuaikan diri dengan hukum-hukum-Nya yang sakral lagi abadi, karena dengan bantuan metode tradisional mengenai realisasi spiritualitas tubuh akan terjadi transformasi di dalam jiwa manusia yang memiliki kebulatan tekad yang kuat dan terdapat pula dalam seluruh manifestasi kosmik, untuk dapat menjalin kembali hubungan primordial manusia dengan prinsip spiritual dan intelektual segala sesuatu.

Adab “Al-Khawf” (tata krama spiritual dalam rasa takut) adalah   suatu adab dalam berbagai tahapan awal perjalanan spiritual sang murid yang diliputi perasaan takut akan pembangkangan dirinya terhadap petunjuk mursyidnya, namun disaat murid dapat menemukan kembali keberanian yang mampu menghancurkan penyakit-penyakit batin di dalam dirinya sendiri. Maka dengan serta merta ia melihat jati dirinya terpantul dipermukaan air yang jernih oleh pancaran sinar mentari pagi.

Proses rasa atau perasaan takut ini, dimungkinkan oleh kekuatan logis pikiran yang merupakan perluasan dari prinsip intelektual, yang tiada lain adalah   refleksi dari intelek Tuhan atau logos dalam bentuk pikiran.

Oleh karenanya, ada persesuaian (hubungan) antara proses mental manusia (kejiwaan) dengan realitas eksternal.

Prinsip di dalam “adab Al-Khawf” ini juga tidak boleh tidak harus dihubungkan dengan keselarasan (tanasub) universal yang akan membawa sang murid kepada Allah Swt dengan harapah (roja) yang bergantung dari kewibawaan spiritualnya sendiri bagi kecakapan logis pikiran untuk mencari kebenaran yang sesuai dengan realitas eksternal.

Adab “Al-Afrad” (tata krama spiritual bagi orang-orang yang sendirian), dalam hirarki sufi, Al-Afrad adalah   yang sendirian atau individu-individu yang berada diluar pengawasan “Quthb”. Disinilah manusia harus melakukan perpanjangan praktik spiritual yang fundamental, berupa praktik ritual (dzikir atau doa) yang dapat dijadikan tangga dalam mendaki peringkat transenden untuk dapat bertemu dengan Nabi yang meminum air kehidupan (ab-i hayat), yaitu   Nabiyullah Khidir As. Dan dia-lah yang akan tampil untuk menasbihkan orang-orang yang sendirian menuju kesucian dari berbagai materi agung.

Adab Al-Afrad ini dapat dijadikan sarana untuk mengingatkan kembali manusia akan kedamaian, ketenangan, dan kegembiraan melalui apa yang dia ciptakan dan yang ia cari sepanjang masa.

Disadari atau tidak disadari, yang hanya bisa didapatkan apabila mencapai suatu kesadaran tertentu tentang kesucian dan sepakat bahwa dia harus menyerahkan dirinya kepada kehendak Yang Maha Kuasa, agar dapat menjadi sinar matahari yang menghalau kabut yang memungkinkan manusia terlibat dalam alam religius kesalehan syi’i untuk merasakan pengalaman spiritual dan berintegrasi kedalam pusat utama.

Adab “Al-Haqq” (tata krama spiritual dalam kebenaran) adalah   suatu adab yang sesungguhnya memerlukan pengetahuan tentang hirarki wujud, yang didalamnya segala maujud memiliki kebenaran sendiri-sendiri dan hanya golongan tertinggi dari para Wali Allah (awliya) yang berani menegaskan suatu kebenaran dengan tanpa mengikuti otoritas orang lain, sebab, dalam diri mereka (awliya) sendiri telah membenarkan (tahqiq) segala sesuatu, yakni  Allah Swt.

Melalui penyingkapan dan penemuan kembali mengenai bentuk esensial dalam praktik ritual Islam yang benar, dan yang jauh dari adanya pencekikan, terbebas dari belenggu dan keterbatasan subyektif diri mereka sendiri, dengan memperoleh suatu universalitas dan kekuatan yang luar biasa, sehingga hanya para ahli ilmu tasawuflah yang memahaminya.

Hanya mereka yang memiliki kedalaman batin seperti itu yang akan dapat menembus sedalam-dalamnya, dengan memutuskan belenggu eksistensi material manusia dan memungkinkan sayap jiwa manusia terbang dengan riang dan bebasnya menuju ufuk langit dunia spiritual yang tidak terbatas itu.

Dan oleh karena itulah saya menolak setiap anggapan orang yang menyatakan bahwa   orang-orang yang memiliki karamah, kekuatan-kekuatan dan kehebatan irasional itu, tidaklah berbudi luhur dimata Allah Swt dan telah terpedaya oleh tipuan jin atau setan (iblis) dsb. Karena itu semua saya anggap merupakan suatu anugerah yang Allah berikan kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih.

Dan jika ada suatu kesalahan atau suatu pelanggaran yang dilakukan oleh pemilik karamah tersebut, maka yang bersalah adalah individunya dan bukan karamah yang dimilikinya. Bukankah Allah telah berfirman di dalam Al-Qur’an :

“ Itulah anugerah Allah yang diberikan-Nya kepada siapa saja yang dikehendakinya, dan Allah Maha Luas (anugerah-Nya) serta Maha Mengetahui “. (QS. 5 : 54)

Sumber hikmah tingkat kedua adalah   “cinta kepada Allah” (Mahabbatullah). Pada tingkatan ini, sang pengembara akan memiliki atau merasakan cinta yang teramat luhur dan suci kepada Allah Swt. karena Mahabbah (cinta) ini terwujud bukan semata oleh suatu akibat dari pertumbuhan  berbagai unsur, malainkan  merupakan kreasi yang tak dapat dipisahkan dari spirit dan bentuk ajaran Islam, karena Mahabbah (cinta) adalah cinta yang suci murni dan tanpa persyaratan apapun pada Allah Swt.

Cinta semacam inilah yang dapat digunakan sebagai sarana untuk kembalinya manusia menuju dunia spiritual. Namun kemungkinan ini yakni  kembali kedunia yang lebih tinggi, tak dapat dipisahkan dari realitas penurunan dari yang atas karena pada dasarnya hanya yang datang dari dunia spiritual itulah yang dapat bertindak sebagai sarana untuk kembali kedunia yang lebih tinggi.

“ Pencapaian cinta (mahabbah) ini dapat mengubah seorang murid (orang yang menginginkan Allah) untuk menjadi seorang murad (orang yang diinginkan Allah).

“Dan tiada sesuatupun dialam ini yang lebih besar dari kecintaan seorang murid dan murad “.

Sedangkan yang suci murni terutama yang dipergunakan dalam mahabbah (cinta), dimaksudkan untuk manifestasi tradisional yang secara langsung berhubungan dengan prinsip-prinsip spiritual yaitu  ritus religius dan inisiatik serta perbuatan yang mempunyai suatu subyek yang suci pula dan merupakan simbolisme karakter spiritual mahabbah itu sendiri.

Hakikat mahabbah adalah  bahwa setiap rasa (perasaan) dalam diri sang pencinta (muhibb) akan memberi kesaksian atas kadar cintanya kepada Tuhan yang Maha Esa dengan tulus dan murni. Hal ini karena kekayaan dan kedalaman dari hakikat mahabbah yang tiada habis-habisnya, sehingga hanya para ahlilah yang dapat memahaminya.

Hanya para  muhibb (pecinta) yang memiliki kedalaman batin seperti itulah yang dapat menembus sedalam-dalamnya dan memperoleh daya pembebasan hati dan perasaan dari memikirkan sesuatu selain Allah dan memberi suatu kehidupan baru dalam seluruh makna. Hakikat mahabbah ini, sehingga terbentuklah keindahan yang harmoni disekililing para pecinta Tuhan (muhibb) yaitu  sebuah taman cinta yang merupakan bayangan duniawi dari taman surga (pairi daeza avestan).

“ Seorang pecinta Tuhan (muhibb) harus dapat memutuskan diri dari belenggu eksistensi material agar sayap-sayap jiwanya dapat terbang dengan riang dan bebasnya menuju ufuk langit mahabbah dunia spiritual yang tidak terbatas “.

Mahabbah (cinta) sesungguhnya merupakan sarana untuk mengekspresikan hati dan perasaan yang benar-benar intelektual, yang direduksi jadi sentimentalisme atau sekadar alat untuk mengekspresikan keanehan individual dan untuk subyektivisme di dalam diri seseorang. Tetapi, dalam konteks tradisional yang menganggap cinta (mahabbah) sebagai tangga untuk mendaki peringkat transenden, adalah hasil imposisi prinsip spiritual dan intelektual yang merujuk pada realitas yang mendasarinya.

Mahabbah (cinta) ini, disebut pula sebagai  Isyq-i majazi (cinta kiasan), karena Isyq-i Majazi sesungguhnya merupakan rasa cinta kepada sesuatu selain Allah, seperti  kecintaannya kepada suatu benda atau barang-barang yang indah atau perasaan cinta manusia terhadap manusia lainnya (sepasang kekasih).

Cinta kiasan (isyq-i majazi) merupakan sifat dasar manusia, yaitu: ketidak sempurnaan sebagian besar manusia yang dikuasai hawa nafsu (thabi’at) dan bukan sifat primordial  (fithrah) yang terdapat juga di dalam hati setiap orang, akan tetapi tersembunyi dan biasanya diselubungi oleh kelalaian, kebodohan, dan hawa nafsu.

“ Ia merupakan cinta pada ilusi yang akan menjadikan teror dan penderitaan yang berkepanjangan dan ia akan menjadi orang yang ingkar “.

Oleh karena itu, seseorang haruslah menyerahkan diri dan seluruh jiwanya pada Tuhan, terbebas dari gairah hawa nafsu yang berkobar dan membakar sawah ladang yang bukan miliknya. Dan hal ini pasti tidak dapat dicapai kecuali dengan tekad yang paling kuat menuju Yang Maha Tercinta.

Sudah menjadi kebiasaan sebagian manusia yang tidak pernah merasa cukup dan puas dengan bercocok tanam disawah ladang miliknya yang halal, mereka selalu saja melirik sawah ladang milik orang lain yang selalu terlihat lebih subur dan lebih indah dalam pandangan matanya.

Pada sumber hikmah tingkatan kedua ini, yakni   cinta kepada Allah (mahabbatullah) terbagi dalam tiga kriteria yang utama , yakni: “Mahabbat-i Muqtashid” – “Mahabbat-i Khashsh” dan “Mahabbat-i AMm”. 

Ketiga kriteria mahabbah ini harus dimiliki oleh para pengembara sufi di dunia gnosis (ma’rifah), karena ketiganya akan membawa mereka menapak diatas jalan kerinduan kepada “ Tuhan Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang “ untuk dapat “berada dihadapan Tuhan di dalam Tuhan dan bersama Tuhan“, agar jiwa mereka terisi oleh cahaya ketenteraman sebagaimana yang diperoleh dari kesucian dan keikhlasan beribadah.

Ehsan Mukaramah,

KOL

END.


Copyright © 2000 PAADIANinc. Send mail to PAADIANinc with questions or comments about this web site.

No comments:

Post a Comment

Kedayan Online and Suambi Kedayan, A REBORN!

This website is a re-issue of once published materials of Kedayan Online  (of PAADIANInc. ),  Suambi Kedayan (of Persatuan Kedayan Sabah...